GPEI Jatim Bahas Strategi Ekspor Indonesia di Tengah Perang Dagang dan Badai Geopolitik
(Foto : Ketua Umum KADIN Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, memukul gong untuk membuka Business Gathering yang digelar oleh Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Jatim, Surabaya, Rabu (25/6/2025)/HO-GPEI)
Surabaya – DPD Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Jawa Timur, menggelar business gathering dengan mengusung tema “Peluang dan Tantangan Ekspor di Tengah Perang Dagang”. Tema tersebut diambil sehubungan dengan kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat serta badai geopolitik dampak perang Iran-Israel, di Hotel Shangri-La Surabaya, Rabu (25/6/2025).
Ratusan anggota DPD GPEI Jatim mengikuti kegiatan yang dihadiri jajaran berbagai organisasi pelaku usaha di pelabuhan dan institusi terkait tersebut. Mereka menyimak dengan serius paparan dari para narasumber.
Tampil sebagai narasumber dalam acara sehari itu adalah Ketua Umum Kadin Jawa Timur, Adik Dwi Putranto (keynote speaker), Junaidi Sinaga dari Pelindo Regional 3, Peter Sutjiono Tjioe selaku Direktur MM Galleri, Arson Tri Windarto dari Barantin, Ira Dwi Astuti dari Bank Jatim serta Nuring Retnowati dari Badan Pengembangan Ekspor Indonesia (BPEI) Disperindag Jatim.
Perang tarif dan ketegangan geopolitik global yang terus meningkat tak menyurutkan langkah Indonesia untuk memperkuat ekspor. Di tengah badai perang dagang AS–China dan eskalasi konflik Israel–Iran, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur menegaskan bahwa Indonesia harus memanfaatkan krisis ini sebagai katalisator untuk lompatan ekonomi strategis.
Ketua Umum Kadin Jawa Timur, Adik Dwi Putranto menekankan bahwa dunia saat ini tengah memasuki fase transformasi geopolitik yang fundamental. “Dua poros konflik besar yang memengaruhi pasar global saat ini justru membuka peluang baru bagi produk ekspor Indonesia, asalkan kita mampu bergerak cepat dan cerdas,” ujar Adik.
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China, yang sejak 2018 belum mereda, kini memasuki babak baru. AS telah menerapkan tarif tinggi hingga 145% untuk produk China, sementara produk Indonesia hanya dikenai tarif 10–32 persen. Hal ini membuat produk Indonesia jauh lebih kompetitif di pasar Amerika Serikat.
“Buktinya, ekspor Indonesia ke AS melonjak 48 persen dalam lima tahun terakhir, dari US$17,8 miliar pada 2019 menjadi US$26,3 miliar di 2024. Kadin memproyeksikan potensi tambahan ekspor hingga US$1,7 miliar, khususnya di sektor tekstil, garmen, alas kaki, elektronik, dan furnitur,” ucapnya.
Namun, keuntungan itu bukan tanpa ancaman. Produk China yang tak lagi masuk AS kini beralih ke pasar domestik Indonesia dengan harga sangat murah. Hal ini memperburuk persaingan di dalam negeri. Kasus kebangkrutan raksasa tekstil Sritex menjadi contoh pahit bagaimana industri nasional bisa tumbang jika tidak siap menghadapi serbuan barang murah.
Tak hanya itu, penurunan harga komoditas seperti batubara, yang anjlok 30% dari US$101 ke US$69 per ton, menambah tekanan. Di saat bersamaan, praktik dumping dan penyelundupan menjadi momok serius yang harus diantisipasi dengan kebijakan proteksi yang lebih kuat.
Di belahan dunia lain, konflik Israel–Iran sejak pertengahan Juni 2025 mengancam stabilitas jalur perdagangan energi global. Harga minyak melonjak hingga 20 persen menjadi US$74 per barel. Bagi Indonesia, ini berdampak pada kenaikan biaya produksi ekspor, khususnya pada barang yang memerlukan energi tinggi seperti bahan kimia dan tekstil.
Krisis juga mengancam stabilitas pelayaran di Selat Hormuz, jalur vital yang dilalui 25 persen perdagangan minyak laut global. Ketegangan ini berdampak pada kenaikan biaya logistik, lonjakan premi asuransi maritim, dan keterlambatan pengiriman. Bagi eksportir Indonesia, ini adalah ujian nyata ketahanan rantai pasok.
“Namun di balik itu semua, peluang tetap ada. Ekspor Indonesia ke Israel yang mencapai US$165 juta pada 2023 bisa dialihkan ke pasar Timur Tengah yang lebih besar. Ekspor ke Arab Saudi senilai US$2,08 miliar menunjukkan potensi besar yang bisa digarap, terutama dengan dukungan CEPA Indonesia, UAE yang mulai berlaku sejak September 2023,” katanya.
(Foto : Para narasumber berfoto bersama usai Business Gathering yang digelar oleh Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Jatim, Surabaya, Rabu (25/6/2025)/HO-GPEI)
Lima Pilar
Kadin mengusung strategi ekspor berbasis lima pilar dan tujuh langkah konkret untuk menjawab tantangan ini. Lima pilar tersebut meliputi: diversifikasi pasar dan produk strategis, peningkatan daya saing produk, efisiensi rantai pasok, mitigasi risiko geopolitik, dan diplomasi ekonomi aktif.
Langkah-langkah konkret antara lain pembentukan sistem peringatan dini geopolitik, pendirian Export Center 2.0 di setiap provinsi, serta program matching fund bagi UKM untuk adaptasi sertifikasi internasional dan teknologi ekspor. Inovasi keuangan seperti asuransi ekspor dengan cakupan risiko geopolitik juga tengah disiapkan.
Dalam skenario optimis, Indonesia menargetkan nilai ekspor sebesar US$300 miliar pada 2030. Bahkan dalam skenario pesimis dengan konflik yang terus berlanjut, target minimum masih ditetapkan di angka US$250 miliar—dengan fokus pada substitusi pasar dan ketahanan.
“Kita tidak boleh berpikir biasa-biasa saja di masa yang luar biasa. Krisis ini adalah momentum emas untuk mentransformasi ekspor kita dari sekadar penghasil bahan mentah menjadi pemimpin produk bernilai tinggi di pasar dunia,” ucap Adik dengan penuh optimisme.
Dengan semangat kolaboratif lintas sektor, strategi berbasis data, dan kemauan berinovasi, Indonesia memiliki peluang nyata untuk naik kelas di kancah perdagangan global. Seperti pepatah lama yang kini kembali relevan: dalam setiap krisis, selalu tersembunyi peluang bagi mereka yang siap.
Optimisme juga diungkapkan Direktur MM Galleri Peter Sutjiono Tjioe bahwa dengan adanya kebijakan tarif resiprokal oleh AS dan kondisi geopolitik yang sangat menantang, tidak menghilangkan peluang bisnis, tapi peluang itu hanya pindah dari satu negara ke negara lain.
Namun begitu, kata Peter yang membawakan materi “Geopolitic & World Economy, Current Disruptions & Future Prospects for Indonesia Businesses”, untuk menangkap peluang tersebut harus diupayakan dengan sangat serius serta didukung dengan kebijakan pemerintah yang berpihak kepada pelaku usaha sehingga produk ekspor Indonesia sangat berdaya saing.
Selaras dengan hal itu, para narasumber lain juga menyatakan hal yang sama bahwa ekspor merupakan penghasil devisa. Oleh karena itu, untuk menghadapi tantangan para pihak terkait harus saling bahu-membahu.
Ira Dwi Astuti dari Bank Jatim dalam kesempatan itu mengupas tentang Kemudahan Dukungan Finansial Dalam Mendorong Ekspor, Arson Tri Windarto menguraikan tentang Kemudahan Layanan Wajib Periksa Karantina Hewan Ikan dan Tumbuhan, Nuring Retnowati dari BPEI Disperindag Jatim menjelaskan mengenai Penyederhanaan Pengurusan Surat Keterangan Asal Dalam Mendorong Peningkatan Ekspor, sedangkan Junaidi Sinaga menjelaskan mengenai Upaya Peningkatan Kelancaran Logistik dan Arus Barang di Pelabuhan. (*)