Transformasi Pelindo dalam Dua Tahun Pasca-merger
(Foto: Dok Pelindo)
Surabaya – Dua tahun pasca-merger, PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo terus berbenah. Pelindo berusaha dapat memberikan layanan kepelabuhanan semakin prima. Hal ini dilakukan guna mendorong transformasi baik dalam diri Perseroan maupun bagi tumbuhnya perekonomian nasional.
Pelindo (Pelindo I,II,III dan IV) resmi merger pada 1 Oktober 2021. Langkah tersebut oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini kemudian ditindaklanjuti dengan upaya transformasi operasional melalui standardisasi dan sistemisasi pelabuhan yang ditunjang dengan peningkatan kapabilitas Sumber Daya Manusia (SDM), serta transformasi proses bisnis.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), transformasi adalah kata yang memiliki dua makna. Pertama, transformasi adalah perubahan rupa bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya. Kedua, transformasi adalah perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya.
Transformasi di lingkungan Pelindo kini sudah mulai terlihat. Wujud transformasi itu di antaranya adalah adanya peningkatan kinerja dan produktivitas di sejumlah pelabuhan. Peningkatan produktivitas bongkar muat diukur dengan parameter boks per kapal per jam (BSH) dan pengurangan port stay atau waktu sandar kapal di pelabuhan yang diukur dengan jumlah hari.
Melalui transformasi ini diharapkan waktu sandar dan bongkar muat lebih pendek, biaya operasional makin efisien, dan trafik kapal dapat meningkat. Bagi pelanggan, baik shipping line maupun cargo owner, dapat memetik manfaat berupa efisiensi biaya dan business opportunity yang lebih besar.
Selama 2 tahun ini, dalam rangka transformasi, Pelindo telah melakukan banyak langkah. Salah satu langkah itu adalah perluasan area operasional Subholding Pelindo Terminal Peti Kemas (SPTP) selaku subholding Pelindo. Hingga saat ini, subholding ini telah mengoperasikan sebanyak 29 terminal petikemas yang tersebar di seluruh Indonesia.
Seperti yang disampaikan Dirut PT SPTP, M Adji, sejak 2022 SPTP menerima serah operasi
terminal di 14 kantor cabang dan inbreng 7 anak perusahaan. Saat ini terdapat 15 kantor cabang dengan keseluruhan terminal sebanyak 29 terminal petikemas setelah ditambah 2 terminal lagi yang dikelola yakni TPK Bagendang dan TPK Bumi Harjo di Kalimantan Tengah.
Serah operasi terminal petikemas merupakan bagian dari rencana strategis perusahaan pasca-merger Pelindo. Secara bertahap kegiatan pelayanan terminal petikemas ini akan diserahkan-operasikan dari holding Pelindo kepada SPTP.
Nantinya, SPTP akan melakukan sejumlah transformasi di terminal meliputi standardisasi
dan digitalisasi bisnis proses, peningkatan kompetensi bagi pekerja, serta peningkatan kehandalan peralatan penunjang kegiatan terminal petikemas.
“Seluruh terminal petikemas akan memiliki standar pelayanan yang sama sesuai dengan kelas masing-masing guna memudahkan kontrol dan monitoring bagi SPTWP selaku operator maupun perusahaan pelayaran sebagai pengguna jasa,” ujar M Adji.
Setelah merger, SPTP juga melakukan upaya peremajaan alat bongkar muat, misalnya di Terminal Petikemas Surabaya (TPS Surabaya) dan IPC TPK Area Panjang seperti 4 unit QCC (quay container crane) dan 14 unit RTG (rubber tyred gantry).
Pengadaan alat baru tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan di TPS Surabaya dan IPC TPK Area Panjang, karena kapal yang masuk ke terminal akan semakin besar.
Berdasarkan data Pelindo, pasca-merger arus kapal di Pelindo telah mencapai 1,2 miliar gross tonage (GT), petikemas mencapai 17,2 juta twenty foot equivalent units (TEUs), dan arus barang sebanyak 160 juta ton.
Dari 17,2 juta TEUs petikemas yang ditangani Pelindo tersebut, sebanyak 7,9 juta TEUs di antaranya merupakan petikemas internasional, sedangkan sisanya merupakan petikemas domestik. Perbandingannya, 45 persen petikemas internasional dan 55 persen-nya petikemas domestik.
Mempermudah
Menurut pengamat maritim dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Saut Gurning, pengoperasian terminal petikemas dalam satu entitas subholding SPTP akan semakin mempermudah proses perencanaan dan koordinasi sehingga setiap terminal memiliki keseragaman.
“Standardisasi dan kesamaan proses bisnis menjadi satu perhatian yang harus segera diselesaikan oleh perseroan. Kinerja operasional juga perlu ditingkatkan, agar waktu kapal di terminal lebih cepat atau dipangkas, sehingga tujuan menekan biaya dan meningkatkan kinerja logistik dapat tercapai,” ujarnya.
Senanda dengan itu, Ketua DPC Indonesian National Shipowners Association (INSA) Surabaya, Stenvens Handry Lesawengen, menambahkan bahwa Pelindo ke depan perlu terus berbenah, termasuk dengan melakukan peremajaan alat bongkar muat yang bisa menjangkau lebih besar setidaknya 18 rows (susunan peti kemas mengikuti lebar kapal) untuk mendongkrak produktivitas bongkar muat.
“Seperti di TPS Surabaya saat ini masih menggunakan alat bongkar muat tipe Panamax, sedangkan yang dibutuhkan QCC jenis Post Panamax. Apalagi alat yang sekarang sudah berusia lebih dari 20 tahun lalu,” katanya.
Sementara itu, kinerja arus petikemas SPTP pada 2022 berhasil mencapai 11,16 juta TEUs. Jumlah tersebut meningkat jika dibandingkan capaian 2021, yakni sebanyak 11,04 juta TEUs. Pada 2023 ini pun, SPTP memproyeksikan kinerja arus petikemas di terminal yang dikelolanya bisa meningkat mencapai 11,53 TEUs.
Tim Change Management
Untuk menghadapi tantangan transformasi dan standarisasi pelabuhan pasca-merger, Pelindo telah memperkuat Tim Change Management. Hal tersebut dilakukan untuk mendukung desain manajemen perubahan yang terstruktur.
“Merger mengubah bisnis logistik di Indonesia menjadi lean business model. Peran penting Tim Change Management sangat dibutuhkan manajemen dalam rangka memastikan kesuksesan perubahan pada organisasi,” kata Direktur SDM PT Pelindo Multi Terminal Edi Priyanto dalam pernyataan tertulisnya, Minggu (18/6/2023).
Pasca-merger, Pelindo saat ini melayani end to end business dalam rantai logistik. Selain itu, juga mengubah bisnis logistik di Indonesia menjadi lean business model yang meliputi strategic control lebih baik, standarisasi end-to-end operations, alokasi dana yang optimal, standarisasi program pengembangan SDM, dan sistem teknologi informasi yang terintegrasi.
Manajemen perubahan sangat diperlukan perusahaan ketika melakukan program transformasi. Hal tersebut dikarenakan ada perbedaan baik proses sampai hasil terhadap organisasi yang disertai manajemen perubahan atau tidak.
“Dengan mengimplementasikan manajemen perubahan maka akan mampu meningkatkan produktivitas dan efi siensi, terjadi pengurangan turn over, business continuity and sustainability, adopsi cepat serta transisi akan berjalan dengan mulus,” kata Edi.
Efisiensi dan Optimalisasi
Tahun 2022 menjadi tahun perdana pasca-merger. Pada tahun itu Pelindo berhasil mencatatkan efisiensi dan optimalisasi senilai Rp1,3 triliun.
Capaian ini sebagian besar berasal dari konsolidasi dan optimalisasi kapasitas finansial Pelindo yang meliputi optimalisasi pembiayaan, relokasi aset, dan implementasi pengadaan bersama, sehingga mewujudkan kapasitas finansial yang lebih kuat sekaligus optimalisasi aset yang terintegrasi.
“Capaian ini merupakan cerminan manfaat dari penggabungan Pelindo yang hanya dapat
diperoleh melalui sinergi antar entitas Pelindo Group sehingga pengelolaan segenap sumber daya perusahaan dapat dilakukan secara lebih efisien serta memberikan kontribusi pendapatan bagi negara yang maksimal,” ucap Direktur Utama Pelindo, Arif Suhartono, dalam acara MediaGathering di Jakarta (12/04).
Dengan pengelolaan yang tersentralisasi, Pelindo kini memiliki kendali strategis yang lebih baik, sehingga memudahkan dalam melakukan transformasi layanan operasi end-to-end, seperti menciptakan standardisasi sistem layanan operasional pelabuhan yang sebelumnya berbeda-beda antarpelabuhan. Beberapa sistem yang distandardisasi adalah TOS Nusantara untuk layanan peti kemas, NPK TOS untuk layanan non-peti kemas dan Phinisi untuk layanan kapal.
Transformasi tersebut telah mendatangkan benefit bagi berbagai pihak. Bagi Pelindo sendiri telah terjadi peningkatan efisiensi biaya operasional, potensi penambahan trafik, peningkatan kompetensi dan knowledge.
Sedangkan bagi pelanggan, dengan adanya pengurangan port stay dan cargo stay misalnya, dapat membantu penghematan biaya sewa dan operasional kapal bagi perusahaan shipping line , dan pada akhirnya diharapkan dapat berkontribusi terhadap penurunan biaya logistik serta mendukung konektivitas maritim. (Bagus Sumakto)